Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2023

Tembok besar.

Katakanlah aku menyukai seseorang, yang sering aku lakukan adalah memberi batasan bahwa cukup menjadi teman baiknya adalah pilihan terbaik yang aku miliki. Seolah batasan itu menjelma menjadi tembok besar. Aku akan sangat berterima kasih pada orang yang membantu meruntuhkannya.

Bapak.

Bapak selalu menyembunyikan kesulitan-kesulitannya kepadaku. Bapak tak ingin melibatkan aku dalam kesulitan-kesulitan yang menerjangnya. Bapak sering tidak sampai hati. Bapak ku sudah tua. Tua yang sebaiknya hanya digunakan buat pemikiran-pemikiran ringan. Sayang, anak-anaknya belum benar-benar kuat untuk melonggarkan bebannya.

Kenyataan.

Sebetulnya aku bukanlah orang yang kuat mengalami goncangan perasaan yang datang bertubi-tubi. Kadang jiwa sukar ditenangkan, pemusatan hasratku dalam beberapa hari mudah pecah menghadapi masalah-masalah yang mendadak. Begitu masalah itu datang dan perasaanku tergoncang, aku memerlukan tempat aku melahirkan reaksi-reaksi atas perasaanku.  Tetapi, kepada siapa juga perasaan itu disampaikan? sebetulnya aku merasa asing, aku tak memiliki kawan pribadi. Akibatnya aku sampai pada kesimpulan bahwa segala peristiwa memperingatkan setiap orang supaya bergantung pada diri sendiri. Jangan mengharap belas kasihan orang lain jika ingin terhormat. Hukum alam bagi manusia adalah supremasi kekuatan, kehormatan melekat pada kekuatan, dan kelemahan berarti kebinasaan.  Nah, ternyata keseganan orang pupus & musnah setelah aku tidak berkekuatan. Banyak teman enggan dan menjauh dariku setelah mereka tahu tidak ada lagi keuntungan yang bisa diperoleh dari orang yang tidak punya kekuatan apa-ap...

Tafsir.

Sering kali kita menafsirkan orang lain menurut kerangka kepribadian kita sendiri. Seseorang yang sedang membanggakan dirinya kita sebut atau kita tafsirkan sebagai merendahkan diri kita. Seseorang yang mengutarakan sikap dan cita-cita pribadinya, yang objektif memang ada sangkutan nilai dengan soal diri kita, kadang-kadang kita tafsirkan sebagai celaan, dengan demikian tidak kah objektif? Kita harus menafsirkan orang lain menurut dunianya dan bukan menurut dunia kita. Kita harus sadar akan adanya kekhususan-kekhususan pada tiap orang dan karenanya harus menghormati kekhususan itu.

Nasib.

Aku sangat kuatir akan kemampuanku sendiri dalam menjaga keseimbangan batin di tengah kekecewaan terhadap nasibku selama ini, terhadap lingkunganku, terhadap teman-temanku dan lain-lain. Mudah-mudahan aku tidak akan terdesak untuk mengambil langkah-langkah artifisial karena kecewa. 

Kuatir kehilangan.

Dari salah seorang teman, aku mendengar bahwa dia telah punya seseorang yang punya kekhususan dengannya. Aku terkejut, sebetulnya tidak terlalu, hanya saja merasa cemas mendengarnya, walaupun insting akan hal itu sudah lama terlintas di pikiranku. Baru kemarin aku bermimpi bertemu dia. Dalam mimpi dia masih seperti orang yang aku kenal. Tapi entah karena apa, justru itulah yang menarik perhatianku.  Mudah-mudahan cerita itu tidak benar. Aku berharap semoga dia cukup mengerti maksud hatiku dan mau menunggu sampai aku merasa yakin. Aku sadar, bahwa bagaimanapun juga aku berusaha menjauh dari dia, sialnya hatiku tak bisa diajak serta. Aku memang selalu kuatir kehilangan, dan aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk melenyapkan perasaan ini.  Aku tidak berdaya, karena itu aku tidak mampu untuk bertanggungjawab pada sikap-sikapku. Aku terlalu terlibat dalam pencaharian diri yang tak kunjung selesai, sehingga aku melupakan semuanya. Walaupun begitu, apa saja yang terjadi semoga dia sel...

Pelarian.

Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan, yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca sepertinya aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya di mana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan hidup yang pahit tidak bisa dihindari terus menerus. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi. Saat itu adalah saat yang paling pahit.

Tentang dia.

Setiap saat, hatiku selalu saja diliputi keragu-raguan. Ragu-ragu antara dorongan ingin selalu membuatnya tersenyum, dengan perasaan kuatir akan kemampuan diri. Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. Apalagi bila aku melihat orang yang pernah mendekatinya. Mereka adalah orang-orang yang lahiriah-batiniah, luar dan dalam, jauh melebihi aku. Lihatlah tampannya, cara-cara bergaulnya, ketaatan beragamanya, akhlaknya, latar belakangnya. Dalam semua masalah itu jelas aku kalah telak. Tapi bukanlah sifatku untuk memasukkan faktor-faktor itu dalam menilai keadaanku sendiri. Aku harus tegak berdiri memakai kekuatanku sendiri tanpa merepotkan orang lain. Karena itu walaupun aku orang yang menyedihkan, tidaklah berarti bahwa otomatis aku anaknya ini harus dikasihani. Karena itu betapapun besar aku punya perasaan terhadap seseorang, aku harus selalu menahan diri dan sekeras-kerasnya berusaha agar perasaan ini tidak nampak dalam sikap-sikap pergaulanku dengan dia. Biarlah dia tidak tahu bahw...

Cemas.

Aku sendiri belum tahu, ke mana sebetulnya arah yang harus kutempuh dalam hidup. Banyak jalan tersedia, entah mengapa semuanya seolah-olah pilihan yang sulit, yang kulakukan selama ini adalah memenuhi kehausan eksistensi dalam diriku. Pertanyaanku adalah bagaimana rasa pertanggung jawabanku terhadap orang tua? terkadang segalanya membuatku cemas menghadapi masa depan. Perasaan penuh gairah, tetapi disisi lain putus asa, takut, dan cemas. Itu semua membuatku tidak berani mengambil inisiatif terhadap berbagai hal, untuk membentuk masa depanku. Harusnya beberapa kali inisiatif diperlukan dan harus diyakini, tetapi dalam pikiranku hanya ada banyak kecemasan. Perjalanan yang aku lakukan mungkin akan hilang begitu saja, dengan satu, dua pengalaman yang tidak ada artinya. Semoga aku tetap siapa dalam menghadapi banyak hal.

Perubahan.

Salah satu sebab mengapa aku terkadang tidak mau menulis catatan harianku, ialah ketakutanku akan perubahan-perubahan dalam diriku sendiri. Aku manusia yang selalu siap untuk berubah, sebagaimana aku juga siap untuk tidak berubah. Aku yang sekarang, lain dengan aku setahun yang lalu, lain dengan aku sebulan yang lalu, bahkan lain dengan aku yang kemarin.  Aku masih kuatir, bahwa aku yang kemarin mungkin lain dengan aku yang sekarang. Biarlah aku menemukan diriku sendiri lebih dulu dalam bentuk yang lebih siap & segar. Kapan kesegaran itu tiba? Siapa tahu dalam setahun atau dua tahun mendatang. Yang penting pencaharianku tidak mandeg.

Rangkasbitung kering.

Aku sudah terlalu lama di Rangkasbitung, itulah kenapa aku sering berpergian kesana-kemari dalam waktu yang lama. Dia sudah terlalu kering untuk menjawab pertanyaan di kepalaku. Bagiku kota ini tidak menarik lagi. Kapankah keinginanku untuk menjelajah ini bisa terlaksana? Aku benci homogenitas dan suasana monoton. Aku ingin mencari lingkungan baru yang membuatku mengeluarkan semuanya. Sebaiknya memang; sering untuk berpergian!

Mimpi.

Aku terbangun pada gema adzan subuh. Sungguh mengherankan mengapa masalah-masalah lama masih muncul kembali dalam impian. Apakah karena masalah baru dan terakhir yang aku harapkan terjadi, tidak kunjung terjadi? Sulit memang menganalisa mimpi sebagai mainan alam bawah sadar.

Berjalan.

Belajar dan merenung dalam kamar saja tidak cukup. Pikiran-pikiran perlu dipersegar dengan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat. Karena itu tadi pagi aku senang berjalan kaki berkilo-kilometer, masuk ke pasar melihat orang jual buah, sayuran, dan sebagainya, pergi ke perkampungan, atau berjalan sendirian di hutan. Celah-celah kehidupan masyarakat selalu memperkaya rohani.

Lain kali.

Tak ada yang bisa kubanggakan sebagai laki-laki. Aku belum bisa menjelaskan apapun, tak seperti laki-laki lain jelas aku banyak kurangnya. Jadi apa yang bisa orang harapkan dariku? Karena itulah aku merasa salah untuk terlibat dalam suatu permainan yang memerlukan janji dan pemenuhannya. Tak ada yang bisa kujanjikan terhadap siapapun. Dengan ini saja manusia tak akan bisa hidup bukan? Biarlah lain kali saja, bila aku sudah yakin dan masa depanku sudah pasti. Sekarang, hanya akan membuat banyak orang kecewa. 

Ideal.

Beberapa hal selalu mengganggu pikiranku ketika aku berpikir tentang apa yang akan aku lakukan. Aku menjadi lebih sadar bahwa aku pun juga seorang manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya, yang tidak hanya perlu memikirkan orang lain saja, tetapi perlu memikirkan kebutuhan diriku sendiri antara lain kebutuhan rohaniah akan seorang teman baik.  Tapi bagaimana, aku merasa selalu sibuk dan justru kesibukan ini sebagian merupakan pelarian dari kekecewaan-kekecewaanku. Aku tidak mengerti mengapa hal itu selalu membuatku lesu, dan malah mengingatkan aku pada seorang yang harusnya aku ajak banyak bicara. Semoga dia berbahagia, sukses studinya dan mendapatkan teman hidup yang ideal.

Tengah malam.

Sudah jam 01.39 pagi ini. Aku tidak bisa tidur, tapi mataku mengantuk. Aku benci pada suasana sekelilingku. Aku benci, dan aku ingin pagi segera datang.

Menghadapi masalah.

Malam ini beberapa kali aku terjaga. Kali ini tidurku gelisah dan haus tak terkatakan. Tidak ada air di meja samping tempat tidurku, sedangkan aku ingin sekali minum, malah kepingin air es. Ah, aku teringat pada bapak, ibu dan adik-adikku di rumah, tugas-tugas yang sedang kuhadapi dan beberapa masalahku sebagai human being yang tak selesai-selesai. Entah sampai kapan? 

Bagaimana?

Aku ingin kehidupan membentuk pola berpikirku, meskipun sejak dulu aku merasa sudah begitu. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah berjalan maju atau hanya diam di tempat. Tapi bagaimana mengintegrasikan hidup yang aku jalani itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu petunjuk-Mu.

Sebab.

Perasaanku meronta-ronta kalau sedang berbicara di muka umum. Sebabnya salah satu dari dua atau dua-duanya. Pertama, pembicaraanku tidak lancar, tidak ada touch dengan lawan bicaraku, sementara aku mengerti bahwa touch betul-betul tidak ada. Mulutku melantur bebas, berbicara menurut pendapatku sendiri. Yang kedua, pembicaraanku mengingkari isi hatiku sendiri, karena ada perasaan yang menurutku harus aku jaga. Di sinilah aku kehilangan semangat dan kejujuran pikiranku.

Dalam kebingungan.

Dalam minggu-minggu terakhir ini aku kehilanga vitalitas. Aku sering terjaga malam hari, dan ini adalah tanda kegelisahan. Aku tidak tau apa yang harus kuperbuat untuk menghadapi problem-problem kehidupan seperti ini. Aku belum punya keberanian untuk menghadapi semuanya.

Aku rindu peristiwa besar.

Jelas aku tidak senang dengan serba kebekuan ini. Tapi bagaimana, bagaimana aku membebaskan diri? Aku rindu pada peristiwa-peristiwa besar. Tapi aku sendiri takut menghadapi peristiwa-peristiwa besar dalam diriku. Serba kesulitan silih berganti menimpa. Dan aku diam, melarikan diri dalam buku-buku.

Menuju ulang tahun ke-22.

Ternyata ulang tahun dan hari kelahiranku sebentar lagi di bulan juli. Terkadang aku lupa pada tanggal itu. Walaupun begitu aku ingin tetap berdoa: Semoga Allah memberiku umur panjang, karena masih banyak yang ingin aku perbuat, termasuk tanggung jawabku pada semuanya. Kini aku baru sadar akan arti menjaga kesehatan dan kemampuan. Beberapa kali aku sadar akan kondisi tubuh yang kurang baik, juga kemampuan mengendalikan diri yang entah mengapa seperti menghilang. Aku tak tau, apa sesungguhnya yang menyebabkan semuanya begitu berubah. Mungkin kelelahan, tekanan-tekanan mental, menu makanan yang rendah, makan dan tidur yang tidak teratur atau lain-lain dengan catatan bahwa pada tingkat tertentu semuanya berhubungan dengan kesulitan yang aku alami.  Kini aku perlu realistis, walaupun kemauanku tinggi, kondisi tubuh harus diingat dan dipertahankan. Hidupku memerlukan perencanaan dari pemenuhan syarat dari yang dasar, yaitu landasan untuk mengatur diri, alias: aku harus memenuhi kebutuha...