Tentang dia.

Setiap saat, hatiku selalu saja diliputi keragu-raguan. Ragu-ragu antara dorongan ingin selalu membuatnya tersenyum, dengan perasaan kuatir akan kemampuan diri. Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. Apalagi bila aku melihat orang yang pernah mendekatinya.

Mereka adalah orang-orang yang lahiriah-batiniah, luar dan dalam, jauh melebihi aku. Lihatlah tampannya, cara-cara bergaulnya, ketaatan beragamanya, akhlaknya, latar belakangnya. Dalam semua masalah itu jelas aku kalah telak.

Tapi bukanlah sifatku untuk memasukkan faktor-faktor itu dalam menilai keadaanku sendiri. Aku harus tegak berdiri memakai kekuatanku sendiri tanpa merepotkan orang lain. Karena itu walaupun aku orang yang menyedihkan, tidaklah berarti bahwa otomatis aku anaknya ini harus dikasihani.

Karena itu betapapun besar aku punya perasaan terhadap seseorang, aku harus selalu menahan diri dan sekeras-kerasnya berusaha agar perasaan ini tidak nampak dalam sikap-sikap pergaulanku dengan dia. Biarlah dia tidak tahu bahwa aku betul-betul punya perasaan terhadapnya. Alangkah beratnya berlaku seperti ini. Karena itulah mungkin dorongan ingin memilikinya ini kadang-kadang tercermin pula dalam pergaulanku dan sikapku yang khusus terhadapnya.

Bagaimana kalau dia betul-betul tahu aku menaruh harap padanya? sedang aku sendiri selalu diliputi keragu-raguan dalam melangkah. Ah, biarlah dia yang aku inginkan itu berbahagia bersama orang lain. Biarlah aku diam saja, sebab dia harusnya punya kans besar untuk mendapatkan orang yang melebihiku. Tapi setiap kali pikiran seperti itu timbul, setiap itu pula aku berdoa agar bisa menghabiskan waktu, dan membayangkan bisa mendapatkannya di ruang yang lain. Bukankah ini suatu pengingkaran terhadap hati nurani? Jelas penghianatan.

Komentar