Postingan

Makan.

Ketimbang membeli makanan yang menjadi incaran banyak orang karena ramai, dan enak, yang sering aku lakukan adalah membeli makanan pedagang-pedagang yang sepi dan belum tentu enak. Bagiku rasa sepi belum tentu tak enak, dan meskipun tak enak aku adalah orang yang mudah berkompromi. Masih menjadi pertanyaan besar kenapa sikap-sikap naluriah seperti itu muncul secara alami dalam diriku? Apakah aku juga pernah merasakan hal-hal yang sama dengan mereka, ataukah hanya insting manusiaku saja yang hidup dalam waktu-waktu tertentu. Segalanya nampak aneh namun tetap aku lakukan berulang-ulang.

Fixers.

Mungkin tiap hari ada saja setidaknya dua sampai tiga orang yang menceritakan masalahnya. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah kenyataannya. Kebanyakan mereka meminta bantuan, saran, dan masukan perihal masalah asmara, finansial, keluarga, dan pekerjaan. Sebagai manusia, cara-cara hidup seperti lembaga bantuan hukum atau dompet dhuafa ini tak bisa dilakukan terus menerus.  Aku mesti sadar bahwa kemampuanku juga terbatas. Di sisi lain benci kebekuan, aku tidak mau mengadu nasib, ingin terus bergerak membantu. Tapi bagaimana perihal masalah-masalah pribadiku? sepertinya semakin menumpuk saja. Bukankah cara hidup seperti ini cukup menyedihkan? Aku tau tempat mengadukan masalah terbaik adalah pada yang menciptakanku, tapi bagaimana hubunganku dengan manusia lainnya? Segala hal yang tidak seimbang memang tidak baik. Nampaknya hablum minannas mesti dibangun dengan serius.

Sikap.

Ketika aku membetulkan motorku di bengkel yang sepi pengunjung, bukannya motorku membaik, malah tak sengaja jatuh ketika tes di jalan raya. Bukanya betul, motorku malah bertambah parah kerusakannya. Lalu bagaimana reaksiku? Aku tidak marah sama sekali, bagaimana aku mau marah pada montir yang tak sengaja merusak dan tidak sanggup membayar semua kerusakan itu.  Harusnya jika tau bengkel itu tidak bisa bertanggung jawab, yaa jangan datang kembali. Yang aku lakukan adalah tetap memilih bengkel itu untuk memperbaiki motorku. Hampir semua temanku marah ketika tau apa yang aku lakukan. Tapi memang aku orang yang bersikap seperti itu. Siapa yang mau menerima laki-laki yang bergerak menurut hati kecilnya ini? Kadang ia juga tidak rasional terhadap banyak hal.

Prasangka.

Terlalu banyak prasangka, dan sebetulnya aku tidak begitu peduli pada asumsi-asumsi yang berseliweran itu. Menariknya ada beberapa prasangka yang membuatku terheran-heran. Pertama ada yang menganggap aku sudah meninggal dunia, mungkin karena aku tidak pernah terlihat lagi dalam pandangan orang itu. Kedua, aku sering di anggap penyuka sesama jenis (gay), karena tidak pernah terlihat atau bicara menyukai atau sedang mendekati perempuan. Ketiga aku di kabarkan tidak berkuliah lagi. Anggapan seperti itu anehnya bukan hanya keluar dari satu orang saja. Bahkan tak jarang aku memergoki orang-orang yang sedang membicarakanku, atau bahkan banyak teman yang mengaku bahwa aku sering di jadikan bahan obrolan mereka ketika bicara dengan seseorang. Sebegitu menariknya hidup yang biasa ini sampai temanku banyak membahasnya. Sebetulnya aku tidak sedikit pun marah atau kecewa dengan apapun asumsi terhadapku. Apapun yang orang lain bicarakan tidak sedikitpun mengusik prinsip-prinsip hidupku. Untuk apa j...

Tidak setuju.

Aku memang membutuhkan seseorang untuk berbicara menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap banyak hal. Aku tidak mau semuanya berjalan satu arah saja, harus ada yang menamparku, menyatakan bahwa aku salah, bodoh, sok tahu, dan dangkal. Aku tidak mau menjadi orang yang merasa paling tau jalan mana yang paling benar. Padahal aku hanya penumpang bus yang duduk di kursi paling belakang saat melalui jalan yang rusak dan berbahaya. Maksudnya perempuan yaa, kalo laki-laki aku bosan diskusi dengan mereka.

Tembok besar.

Katakanlah aku menyukai seseorang, yang sering aku lakukan adalah memberi batasan bahwa cukup menjadi teman baiknya adalah pilihan terbaik yang aku miliki. Seolah batasan itu menjelma menjadi tembok besar. Aku akan sangat berterima kasih pada orang yang membantu meruntuhkannya.

Bapak.

Bapak selalu menyembunyikan kesulitan-kesulitannya kepadaku. Bapak tak ingin melibatkan aku dalam kesulitan-kesulitan yang menerjangnya. Bapak sering tidak sampai hati. Bapak ku sudah tua. Tua yang sebaiknya hanya digunakan buat pemikiran-pemikiran ringan. Sayang, anak-anaknya belum benar-benar kuat untuk melonggarkan bebannya.